Gender Dalam Tradisi Bali dan Agama Hindu

Luh Putu Dina Satriani.

Fritjof Capra mengatakan, selama tiga ribu tahun terakhir peradaban barat dan kebudayaan-kebudayaan lainnya, telah didasarkan atas sistem filsafat, sosial, dan politik, di mana laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan, dan pembagian kerja, menentukan peran apa yang boleh dan tidak dimainkan oleh perempuan. Di mana perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Di sini tampak jelas budaya patriarki.

Budaya patriarki, yang telah mempengaruhi pemikiran-pemikiran mendasar seluruh masyarakat dunia tentang hakekat manusia dengan doktrin-doktrinnya diterima secara universal.  Doktrin yang dikonstruksi sehingga seakan-akan tampak sebagai hukum alam, apalagi dogma-dogma ini diperkuat oleh doktrin-doktrin agama yang mau tidak mau hingga kini masih terpatri oleh pemikiran-pemikiran yang lebih mendewakan laki-laki daripada perempuan, padahal sama-sama manusia ciptaan Tuhan.

Bacaan Lainnya

Ironis memang sebagai umat beragama manusia selalu dicekoki oleh dogma-dogma “Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Adil” jika itu benar haruskah ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Haruskah ada sekat-sekat yang menjadikan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki? Sesungguhnha pertanyaan ini adalah pertanyaan yang reflektif yang menuntut kita berpikir dan menemukan jalan keluar.

Budaya patriarki juga mewarnai adat budaya Bali, sebagaimana yang dikatakan oleh Holleman dan Koentjaraningrat dalam Sudarta, bahwa kebudayaan Bali identik dengan sistem kekerabatan patrilineal. (Sudarta, 2006). Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan pandangan Agama Hindu sebagai ajaran yang diyakini kebenarannya secara dominan oleh Masyarakat Bali, yang dalam ajarannya sangat memuliakan perempuan, bahkan perempuan dianggap sebagai “sakti” (memiliki kekuatan mistis) bagi laki-laki. Padahal peran gender justru menetapkan bagaimana perempuan atau laki-laki harus berpikir, bertindak, dan berperasaan.

Paling tidak kita perlu mensinergikan keduanya, dalam arti tidak lupa pada tradisi budaya Bali, sambil tetap menghargai atau berpijak pada tradisi Hindu, tentang penghargaan terhadap kapasitas, posisi dan peran laki-laki dan wanita. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kita harus melestarikan warisan budaya Bali tentang gender, karena gender adalah bagian dari konsep purusa dan pradana dalam ajaran agama, sehingga melalui konsep itu kita bisa mengetahui kalau gender bukan hanya digunakan dalam iringan wayang saja tetapi sudah dikaitan dengan konsep purusa dan pradana sebagai warisan kebudayan adat Bali, maka dari itu kita harus melestarikan budaya daerah kita. (***)

Komentar Facebook

Pos terkait