Dan kemudian akhir buku ini, ada 3 tulisan sebagai epilog atau penutup. Kaunang tidak mengetahui secara persis alasan tulisan-tulisan tersebut ditempatkan di bagian belakang buku. Tulisan-tulisan itu diantaranya Perang Demi Budaya yang ditulis Benni E Matindas, Perang Tondano: Kisah Heroik Dan Kontroversi Di Baliknya dari Audy WMR Wuisang serta Minawanua Menggemakan Moral Manusia Moraya oleh Pendeta Danny R Weku.
Pada umumnya kata Kaunang, sejarah Perang Tondano menggunakan referensi dari penulis barat, seperti Godee Molsbergen dengan buku berjudul Geschiedenis van de Minahasa tot 1829. Ada pun buku sebelumnya yang menceritakan Perang Tondano yakni karya Reinward CGC dengan judul Reisnaar Het Oostelijk Gedeete van den Indischen Archipel in Het Yaar 1821 dan beberapa buku lainnya. “Kelebihan dari buku ini dari sumber sejarah,” katanya.
Kaunang membaca buku Perang Tondano dari belakang. Kaunang beralasan, kekuatan sejarah adalah sumber atau data yang dicantumkan di bagian daftar pustaka. “Saya sebenarnya merasa kecil ketika membaca buku ini. Karena penulis (Pak Johan) sudah menulis menggunakan arsip-arsip kolonial,” tuturnya.
Arsip Kolonial biasanya berjenis manuskrip atau naskah tulisan tangan, baik tulisan tangan (dengan pena, pensi) maupun ketikan (bukan cetakan) yang kebanyakan digunakan untuk sejarah kontemporer. “Kemudian buku-buku primer tapi sekunder, misalnya majalah yang menulis sezaman seperti Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITVL), Tijdschrift voor Indische Taal Landen Volkenkunde (TBG) dan lain sebagainya,” sebutnya.
Kaunang mengungkapkan, buku Perang Tondano berbeda dengan buku-buku lainnya. Bab pendahuluan atau pertama biasanya diawali dengan maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan menggambarkan latar belakang sosial dan budaya serta lain sebagainya. Menurut Kaunang, Mambuh sebagai penulis lebih menekankan pada aspek nasionalisme. “Jadi saya mulai membayangkan hal itu luar biasa nasionalismenya tentang Tondano ini,” imbuhnya.
Lanjutnya, buku-buku sejarah yang membahas Sulut dan Minahasa hanya konsumsi bagi masyarakatnya. “Karena apa? Kita orang Minahasa lebih banyak bercerita. Itulah yang membuat dalam buku-buku sejarah Indonesia, khusunya Perang Tondano tidak diisi,” paparnya.
“Bisa saja saudara-saudara buku kedua dari buku ini diberikan kepada sejarawan Indonesia di Jakarta,” tutupnya. (rf)