Manado, DetikManado.com – Wacana pemindahan waruga atau kubur kuno etnis Minahasa dengan menempatkannya dalam satu tempat terintegrasi yang disampaikan oleh Balai Arkeologi Sulut mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Dalah satunya dari akademisi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Dr Ivan RB Kaunang MSi. “Waruga dipindahkan boleh-bole saja, ketika pemahaman waruga itu dalam konsep kekinian. Tetapi ada banyak nilai sejarah dan budaya yang hilang ketika waruga itu dipindahkan,” ujar Kaunang yang juga dosen Ilmu Sejarah ini.
Kaunang memaparkan, di zaman sekarang dengan jargon Pariwisata maka dengan seenaknya waruga dibongkar atau dipindahkan. Padahal dari aspek historis pemindahan suatu waruga harus benar-benar dicatat. Lokasinya luas, tinggi, panjang, konteks situasional lingkunhan historis kenapa waruga itu ada di lokasi di situ.. “Dalam aspek budaya merupakan simbol dan penanda mengapa waruga itu ada di situ,” ujarnya.
Dia menambahkan, yang harus juga dilakukan terkait rencana pemindahan waruga itu adalah menanyakan ke masyarakat sekitar pemilik kebudayaan, para tetua adat apakah boleh dipindahkan atau tidak dari aspek budaya. “Sebab ada waruga yang tidak mau dipindahkan. Menurut terawang para tonaas perlu negosiasi budaya kultur, persyaratan adat baru bisa dipindahkan,” paparnya.
Kaunang melanjutkan, akan hilang beberapa aspek pengetahuan masa lalu keminahasaaan ketika suatu benda budaya dipindahkan. “Karena hal itu ada hubungan dengan tata ruang kosmologi, alam kepercsyaaan dalam tradisi Minahasa,” ujarnya.
Waruga yang berada di sudut desa, lanjutnya, terkadang memberi makna penjaga wanua dan atau batas desa. “Jika itu dipindahkan maka hilang batas itu da seterusnya,” kata Kaunang.
Di sisi lain, kata Kaunang, memang Balai Arkeologi adalah salah satu lembaga yang memikiki kewenangan atas kajian ini, tapi tentu juga tidak mengabaikan aspek aspek kepemilikan historis kultural keminahasaaan. “Jika itu kemudian diarahkan kepada atraksi wisata sebagai wisata budaya, wisata heritage yang tujuannya adalah keuntungan ekonomi, penting juga dipikirkan keterlibatan masyarakat kaitan dengan ekonomi kerakyatan. Jangan pisahkan masyarakat dengan budayanya,” pungkas Kaunang.
Diberitakan sebelumnya, Kepala Balai Arkeologi Sulut Wuri Handoko SS MSi bersama tim peneliti menggagas wacana untuk pembuatan Taman Purbakala 1000 Waruga di Sulut. “Hal ini didasarkan pada penelitian yang menunjukan ada 5 ribuan waruga tersebar di Sulut, dan sejumlah waruga dalam kondisi terancam rusak dan hilang,” ungkap Handoko kepada wartawan, Rabu (27/11/2019).
Handoko mengaku, wacana ini tentu mengundang diskusi publik, bahkan bisa muncul pro dan kontra. Di sisi lain, keberadaan Taman Purbakala 1000 Waruga itu selain sebagai upaya melestarikan situs-situs purbakala, juga bisa menjadi destinasi wisata.
Dia memaparkan, hubungan masyarakat sekarang dengan jati diri masa lalunya juga sangat melekat pada waruga. Oleh karena itu keberadaannya harus dilestarikan secara berkelanjutan. “Namun, kasus pengrusakan masih terus saja terjadi seperti yang baru-baru ini relokasi atau penggusuran karena lokasinya akan dibangun waduk, jalan tol dan sebagainya sehingga dipindahkan,” ungkapnya. (joe)