Lima Tahun Membungkam Keadilan: Saat Hukum Menjadi Alat Kekuasaan

Ferlansius Pangalila

Oleh: Dr. Ferlansius Pangalila, S.H., M.H.

(Refleksi perjalanan Negara Hukum Indonesia 2019-2024)

Dalam sejarah panjang peradaban, manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk menertibkan kekacauan, tetapi untuk menciptakan ilusi keteraturan. Kita diajari sejak kecil bahwa hukum adalah batas antara peradaban dan kekerasan. Namun dalam praktiknya, hukum sering kali tidak melindungi yang lemah dari yang kuat—melainkan justru melindungi kekuasaan dari pertanyaan-pertanyaan moral.

Lima tahun terakhir di Indonesia adalah sebuah eksperimen historis tentang bagaimana hukum bisa dipakai bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk merancang ulang peta kekuasaan. Hukum tidak lagi menjadi rem bagi kesewenang-wenangan. Ia menjadi mesin legitimasi. Tidak lagi netral, tapi berpihak pada siapa yang memegang pena pembuat undang-undang.

Mari kita mulai dari revisi Undang-Undang KPK tahun 2019. Di permukaan, ini hanya perubahan kelembagaan. Tapi secara substansial, inilah pemangkasan ideologis terhadap roh reformasi. Lembaga yang dulunya dibentuk sebagai benteng terakhir melawan korupsi kini dikembalikan ke pangkuan kekuasaan eksekutif: dikendalikan oleh Dewan Pengawas, diisi pegawai ASN, dan dibatasi dalam teknik penyadapan. KPK tak lagi menjadi harapan rakyat, tapi bagian dari birokrasi yang harus tahu diri.

Secara teori hukum, ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip institutional independence. Dalam sistem negara hukum, penegak hukum harus bebas dari intervensi kekuasaan. Tapi di sini, hukum justru ditulis ulang oleh mereka yang semestinya diawasi.

Kemudian kita saksikan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2023 yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran Rakabuming—sebuah contoh telanjang dari konflik kepentingan yudisial. Ketua MK saat itu adalah ipar Presiden. Dalam diskursus konstitusional, ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga bentuk paling halus dari kooptasi hukum oleh oligarki. Hukum berubah dari teks menjadi taktik.

Kalau Anda mengira semua ini adalah peristiwa terpisah, pikirkan kembali. Kita menyaksikan pola yang berulang: pengendalian struktur penegak hukum secara sistematis. Polisi kini bukan hanya alat negara, tapi bagian dari perpanjangan kekuasaan yang bermain dalam arena politik. Jaksa menjadi lentur di hadapan kepentingan. Hakim, yang seharusnya tegak lurus pada hukum dan nurani, justru sibuk membaca arah angin politik.

Di antara kekacauan ini, para filsuf hukum berbicara kepada kita dari masa lalu. Gustav Radbruch memperingatkan bahwa hukum yang terlalu jauh dari keadilan bukanlah hukum, melainkan ketidakadilan yang disahkan. Ronald Dworkin menyatakan bahwa hukum bukan sekadar aturan tertulis, melainkan manifestasi dari prinsip moral kolektif sebuah bangsa. Jika hukum tak lagi berakar pada nilai-nilai keadilan, maka ia hanya menjadi sandiwara legal: prosedural di luar, kosong di dalam.

Yuval Noah Harari mengingatkan bahwa manusia hidup dari fiksi-fiksi besar: agama, negara, uang, hukum. Tapi fiksi hanya bekerja selama kita semua percaya padanya. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada hukum, yang runtuh bukan sekadar legalitas, tapi makna bersama sebagai bangsa. Dan dari sana, kehampaan moral menjadi warisan yang paling berbahaya.

Lihatlah kasus pemecatan Hasyim Asy’ari dari KPU pada 2024. Meski terbukti melanggar etik berat, ia diberhentikan “dengan hormat”. Sementara Evi Novida, yang kesalahannya jauh lebih ringan, justru dipecat tanpa kehormatan. Ini bukan soal prosedur, tapi soal siapa yang dilindungi sistem, dan siapa yang dikorbankan olehnya.

Kasus Firli Bahuri pun demikian. Seorang Ketua KPK ditetapkan sebagai tersangka pemerasan. Tapi sampai akhir jabatannya, ia tidak pernah benar-benar disingkirkan. Di negara hukum yang sehat, seorang pejabat publik seharusnya mengundurkan diri saat bayangan pelanggaran muncul. Tapi di republik ini, pelanggaran adalah bagian dari permainan kekuasaan.

*Hukum, Keadilan, dan Keheningan Publik*
Lima tahun ini bukan sekadar cerita tentang regulasi, pasal, dan tafsir. Ini adalah kisah tentang pembusukan nilai hukum. Tentang bagaimana keadilan dikikis pelan-pelan oleh tangan yang menulis undang-undang dan memelintirnya atas nama stabilitas.

Dan seperti semua rezim yang mengandalkan hukum sebagai alat kekuasaan, pada akhirnya mereka lupa satu hal: hukum hanya efektif selama ia dipercaya. Ketika hukum tak lagi dipercaya, yang tersisa hanyalah kepatuhan semu—dan dari sanalah perlawanan biasanya lahir.

Kini kita berdiri di titik balik. Pertanyaannya bukan lagi apakah keadilan akan kembali, tapi apakah kita masih punya cukup keberanian untuk memperjuangkannya. Sebab jika tidak, maka lima tahun ke depan hanya akan menjadi pengulangan dari cerita lama: bahwa hukum tak pernah benar-benar berdiri untuk rakyat, tapi selalu bersujud pada singgasana kekuasaan.

Dan dalam sejarah manusia, inilah awal dari kehancuran peradaban.


Pos terkait