Manado, DetikManado.com – Setelah pemerintah pusat mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, memunculkan wacana untuk memindahkan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) ke Tondano, Kabupaten Minahasa.
Wacana yang mengandalkan skema segitiga emas (golden triangle), yakni Manado sebagai kota bisnis, Bitung kota industry, dan Minahasa Utara serta Tomohon sebagai tempat wisata. Hal ini mendapat tanggapan dari sejumlah kalangan, salah satunya pengamat pemerintahan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Dr Very Yohanis Londa.
Akademisi yang sehari-hari disapa Mner Very ini, secara pribadi berharap agar masalah apapun itu termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan kebijakan penyelenggaraan negara harus dikaji dengan baik, benar, rasional. Karena ini akan berkaitan dengan hajat hidup masyarakat. “Jangan kita terlalu terbawa dgn euforia ‘pindah’. Setelah Ibu Kota Negara, Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang juga rencana memindahkan pusat pemerintahannya. Saat ini Sulut, saya pikir terlalu prematur dan lemah asumsi dasarnya,” tutur Londa kepada DetikManado.com, Jumat (30/08/2019).
Lanjutnya, sebab pemindahan Ibu Kota seperti yang diwacanakan ini perlu kajian mendalam dan didukung oleh faktor yang dianggap urgent. “Melihat kondisi Kota Manado saat ini sebagai Ibu Kota Provinsi Sulut, saya beranggapan masih layak dalam semua hal,” jelas doktor lulusan Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Londa yang juga Kepala Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fisip Unsrat ini, mengatakan permasalahan yang dihadapi oleh kota Manado dalam hal perkembangan kota, sosiokultural, perekonomian, urbanisasi, kebencanaan maupun lainnya, dianggap bukan sebagai faktor yang mendorong pusat pemerintahan Provinsi harus dipindahkan.
Dia mengatakan, lahan di pinggiran kota Manado juga masih luas, pengembangan daerah pinggiran kota juga masih dapat dilakukan. “Kita harus menyadari bahwa kekuatan anggaran daerah Provinsi Sulut (APBD) sebagian besar masih bergantung pada bantuan pusat. PAD kita belum mampu membiayai semua sektor pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan publik di Sulut,” ungkapnya.
Lebih lanjut dosen muda berbakat ini mengatakan, seharusnya dilakukan saat ini oleh daerah, yaitu bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah yang juga di dalamnya keterlibatan masyarakat dalam hal sebagai pelaku ekonomi (sektor mikro, kecil dan menengah).
“Harus diakui bahwa terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Gubernur Sulut belum dapat di impementasikan dengan baik oleh pelaksana sektoral melalui SKPD. Demikian pula halnya dengan Daerah Kabupaten/Kota yang ada di Sulut. Ego politik dan gengsi kekuasaan terkadang menjadi tembok yang memisahkan sinkronisasi pembangunan dan pelaksanaan program,” jelasnya.
Lanjut dia, perlu keseriusan agar pertumbuhan ekonomi daerah meningkat yang sejalan dengan terjadinya kemandirian ekonomi masyarakat. Sambil juga masyarakat merubah pola perilakunya, agar masalah yang dihadapi seperti Kemacetan, sampah, banjir, PKL, dan kriminalitas di Kota Manado teratasi dengan baik.
“Jangan cuma iko rame dengan isu saat ini pindah Ibu Kota, kong torang ley Sulut somo wacana pindah. Jangan talalu banyak iko rame supaya ndak iko mata (Jangan ikut-ikutan issu pindah Ibu Kota, lalu kita (Sulut, red) juga ikut wacana ini. Jangan terlalu banyak ikut-ukutan supaya kita tidak jadi penonton),” tegasnya dalam dialek Manado seraya mengingatkan pemindahaan Ibu Kota belum pas untuk saat ini karena tidak urgent.
Perlu diketahui, wacana pemindahaan Ibu Kota Provinsi Sulut belakangan ini mulai menjadi perbincangan di masyarakat. Namun wacana pemindahan tersebut masih sebatas perbicaangan dari mulut ke mulut. Sebagaimana diketahui Wakil Gubernur Steven Kandouw mengaku belum ada pembahasan terkait pemindahan pusat pemerintahan ke Tondano. (dem)