Oleh: Richard Fangohoi.
RANGKAIAN peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2020 berlangsung sejak 7-9 Februari di Banjarmasin dan Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Sejumlah kegiatan dilaksanakan dalam rangkaian peringatan HPN 2020 diantaranya seminar inovasi pelayanan publik, pameran karya pers, serta Konvensi Nasional Media Massa.
Tampaknya begitu meriah untuk wartawan atau jurnalis, panitia penyelenggara, kepala daerah bahkan jajaran pimpinan negara serta tamu undangan yang hadir dalam perhelatan itu.
Hari Pers Nasional, 9 Februari. Begitulah banyak orang awam menyebutnya. Mengapa harus tanggal 9 Februari? Bukan tanggal yang lain? Apakah yang mempengaruhinya?
Tulisan ini hanya untuk ‘mengingatkan’. Tidak ada sangkut pautnya dengan embel-embel tertentu. Mengapa? Karena memang HPN ini menjadi asyik-masyuk untuk didiskusikan dan diputuskan secara otentik oleh pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama.
Bukan tanpa sebab, dikutip dari Harian Kompas yang terbit 10 Februari 1985, Presiden Soeharto menetapkan HPN itu bersamaan dengan HUT Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke- 39 tahun.
Organisasi PWI berdiri pada 9 Februari 1946 atau 74 tahun lalu di Surakarta, Jawa Tengah. Secara tidak langsung, umur HPN dan H-PWI sama-sama 74 tahun. Bagi sebagian orang, penetapan tanggal ini ‘sepihak’.
Hal ini juga dikuatkan dengan Keputusan Presiden Soeharto Nomor 5 tahun 1985. Keputusan itu menyebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Dasar hukumnya memakai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU Nomor 21 Tahun 1982 itu akhirnya tidak berlaku lagi setelah lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Tidak menghalangi fakta sejarah, kita tahu bersama, selama Orde Baru (Orba), organisasi pers yang boleh berdiri adalah PWI. Tidak hanya organisasi atau lembaga yang bergerak di bidang pers, organisasi-organisasi lain berdasarkan ‘latar belakang tertentu’ pun ikut bercirikan ‘tunggal’.
Kesempatan Revisi HPN
Bagi saya, HPN ini tidak terlepas dari kepentingan masing-masing organisasi pers. Tapi, tidak salah kan ketika duduk dan berdiskusi untuk ‘membahas ulang’ HPN ini. Pernah ada wacana untuk membahas HPN tersebut.
Dua organisasi pers selain PWI, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) sekitar tahun 2018 pernah menaikan isu ini. Dilansir dari Tempo.co, menurut kedua organisasi pers ini, setelah Soeharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi dalam bidang media yaitu koreksi regulasi Orde Baru.
Di antaranya, terbitnya UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (di atas) serta pencabutan Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Sebelumnya, tanggal 16 Februari 2017 diadakan seminar bertajuk “Mengkaji Ulang Hari Pers Nasional” di Hall Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, dikutip dari Tirto.Id. Tujuan seminar ini untuk mencari solusi atas perdebatan terkait tanggal 9 Februari.
Seminar ini mengundang nara sumber Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, wartawan senior Atmakusumah dan peneliti sejarah pers, Muhidin M Turut hadir membahas materi ini seperti PWI, AJI dan IJTI.
Pertanyaan selanjutnya adalah: Masih adakah ada kesempatan untuk membahasnya? Selagi kita peka terhadap wacana beberapa tahun silam?
Hemat saya, HPN ini perlu dibahas secara seksama antara organisasi-organisasi pers. Selanjutnya menjadi ‘rekomendasi suci’ untuk Dewan Pers.
Dan tidak menutup kemungkinan, dengan keberanian, ‘mendesak’ Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), khusus untuk peringatan HPN. (***)