Manado, DetikManado.com – Nasib Suparlan Mokoginta (32), warga Desa Bilalang III, Kecamatan Bilalang, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara (Sulut), yang ditahan oleh pihak otoritas Filipina sejak 13 Februari 2019, hingga saat ini belum jelas.
Ayah Suparlan, Daip Mokoginta mengaku belum menerima kabar kapan kepulangan anaknya, bahkan Suparlan yang saat sedang berada di balik jeruji besi detensi Kantor Imigrasi Davao City, Filipina, menjadi beban tambahan baginya. “Saya banting tulang di kebun, mencari uang dan dikirim kepada Suparlan di Filipina untuk kebutuhannya sehari-hari di dalam tahanan,” jelas pria umur 61 tahun ini kepada DetikManado.com, Rabu (16/10/2019).
Lanjutnya, kalau Suparlan cepat dipulangkan ke Indonesia, dia bisa mencari nafkah sendiri untuk istri dan anaknya yang masih kecil. “Mohon kepastian kapan pemulangan Suparlan, karena dia sudah 8 bulan ditahan di sana. Padahal penjelasan KJRI Davao melalui pemberitaan media DetikManado pada tanggal 20 Agustus 2019 lalu, pelaksanaan pengadilan memakan waktu 3 sampai 6 bulan,” tutur Daip.
Daip juga meminta penjelasan kepada pihak perwakilan Indonesia berwenang di Filipina, apakah anaknya sudah disidang di pengedilan setempat, dan apa hasil keputusan sidang terhadap Suparlan. “Perhitungan pelaksanan sidang apakah dihitung sejak pertama tertangkap, atau ada perhitungan lain? Kalau sidang memakan waktu 3 sampai 6 bulan, harusnya anak saya sudah lama pulang ke Indonesia,” tutur Daip.
Sementara itu, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Davao City melalui Pejabat Fungsi Protokol dan Konsuler Gufron Hariyanto mengatakan, Suparlan dan Herison masuk dalam category illegal entry dan smuggling, sehingga penanganannya akan berbeda dengan WNI lainnya dalam category illegal entry.
“Kembali kami sampaikan bahwa bagi orang asing termasuk WNI yang masuk tanpa dokumen akan diproses dan diputuskan oleh pengadilan dimana Tempat Kejadian Perkara (TKP) contoh di General Santos. Pelaksanaan pengadilan di Filipina, memakan waktu yang panjang bisa 3 sampai 6 bulan, bahkan lebih baru ada putusan,” jelas Gufron, Kamis (17/10/2019).
Gufron juga mengatakan peraturan yang berlaku di Filipina, jika orang asing yang masuk tanpa dokumen seperti paspor, visa dan atau dokumen lainnya, dalam kejadian apapun, misalnya terdampar, hanyut, smuggling dan lain-lain. “Maka akan diproses terlebih dahulu dengan penetapan pengadilan, selanjutnya harus mendapat ijin keluar atau exit clearance, dari Komisioner Imigrasi Filipina di Manila dengan catatan setelah mendapat masukan dari NBI untuk clearance,” jelasnya.
Lanjutnya, akibat terjadinya konflik di Marawi City, terhitung mulai tahun 2017 sampai dengan akhir Desember 2019, pulau Mindanao, Julu dan Tawi-Tawi masih diberlakukan Marshall Law atau Darurat militer. “Hal ini yang menyebabkan pemerintah Filipina sangat berhati-hati dalam penanganan orang asing yang masuk ke Filipina dalam kejadian apapun,” ungkap Gufron.
Lebih lanjut dikatakan, Konsul Jenderal RI Dicky Fabrian dan jajarannya yang menangani perlindungan dan pelayanan WNI terus berusaha dan tidak henti-hentinya melakukan pendekatan agar WNI yang berada di detensi Imigrasi Davao City, dan lain-lain segera mendapat perintah deportasi. “Selain itu, meminta pengacara yang ditunjuk untuk segera menyelesaikan semua masalah WNI yang ada di wilayah kerja KJRI Davao City,” jelasnya.
Dikatakan juga, pada (11/10/2019) lalu, pihaknya telah memulangkan WNI asal Sulut, Joweski Musaling ke Kampung Nusa, Kecamatan Nusa Tabukan, Toade, Sangihe. “Ini membuktikan bahwa kami terus berupaya semaksimal mungkin, meskipun kami tetap menghormati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Filipina,” pungkasnya. (ali/dem)