Jakarta, DetikManado.com – Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital Indonesia (Damai) mendorong pemerintah dan platform digital, termasuk media sosial menerapkan moderasi konten digital dengan memperhatikan konteks lokal dan menghormati standar internasional tentang hak asasi manusia serta kebebasan berekspresi.
Upaya ini penting dilakukan untuk melawan disinformasi dan ujaran kebencian yang beredar di ranah digital, terutama menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Koalisi akan menyiapkan rekomendasi konkret menghadapi Pemilu 2024 kedepan untuk mendorong praktik moderasi konten yang merujuk pada hak asasi manusia.
Ketua Presidium Koalisi Damai, Wijayanto mengatakan, di berbagai negara, disinformasi dan misinformasi telah terbukti melahirkan polarisasi politik, mengancam perdamaian, dan bahkan dapat berujung pada kekerasan fisik yang nyata.
“Untuk itu, memastikan ruang publik berisi informasi yang benar melalui praktik penyaringan atau moderasi konten adalah satu keharusan dengan tetap menghormati standar HAM dan kebebasan berekspresi serta memperhatikan konteks lokal,” katanya saat diskusi Countering Hate Speech and Disinformation Online in the Context of the 2024 Elections: Challenges and Opportunities, Kamis (16/2/2023) di Jakarta.
Diketahui, diskusi ini diselenggarakan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dengan dukungan program UNESCO-EU Project #SocialMedia4Peace dan diikuti 150 peserta daring dan luring. Peserta diskusi merupakan wakil lembaga pemerintah, platform media sosial, masyarakat sipil dan media.
Selain Wijayanto, narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut yaitu Semuel Abrijani Pangerapan (Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi), Danny Ardianto (Head of Government Affairs and Public Policy YouTube Indonesia), dan Ana Lomtadze (Head of Communication and Information Unit, UNESCO Jakarta)
Sementara itu, Semuel menyampaikan partisipasi masyarakat sipil dalam diskusi moderasi konten perlu terus ditingkatkan, mengingat saat ini moderasi konten masih menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menyelaraskan standar komunitas platform digital dan regulasi lokal.
“Saya setuju, algoritma moderasi konten harus memperhatikan konteks lokal,” ujarnya.
Sedangkan Danny menambahkan sebagai salah satu platform digital, Youtube telah berupaya membatasi sebaran konten berbahaya karena menyadari sebaran masif disinformasi dan ujaran kebencian. Meski demikian, ia menyampaikan mengalami tantangan memahami konteks lokal dalam praktik moderasi konten.
“Lima persen moderasi konten melibatkan human moderator, sedangkan 95 persen dilakukan oleh automatic flagging system karena begitu banyaknya konten yang diproduksi kreator setiap hari. Pada beberapa konten tidak bisa hanya bersandar pada mesin tapi perlu kombinasi dengan manusia,” ungkapnya.
Kemudian Ana mendorong praktik moderasi konten dapat dilakukan secara setara dan transparan antara regulator dan masyarakat sipil.
“Kami berharap platform digital setuju membuka ruang komunikasi langsung dengan koalisi masyarakat sipil agar dapat memberikan masukan praktik moderasi konten yang sesuai standar internasional,” sebutnya.
Penulis: Yoseph Ikanubun
Editor: Richard Fangohoi