Manado, DetikManado.com – Dalam rangkaian International Womans Day (IWD) 2020, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado bekerja sama dengan sejumlah pihak menggelar diskusi publik dengan topik ‘Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Diskusi yang digelar, Selasa (10/03/2020) ini, menghadirkan narasumber, Pembina BPN Peruati Pdt Ruth Ketsia Wangkai MTh, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulut Ir Mieke Pangkong MSi, Wakil Rektor I IAIN Manado Dr Ahmad Rajafi Sahran, Wakil Rektor III IAIN Manado Musdalifah Dachrud SAg MPsi, dan Ketua PSGA IAIN Manado Lies Kryati MEd.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Ketua KOPRI Cabang Metro Manado Nurila Lasene ini, Wangkai diberi kesempatan terlebih dahulu untuk mengulas tentang berbagai defisini kekerasan seksual. Dia juga membahas tentang berbagai contoh kasus dan pemahaman yang ada di masyarakat. “Defisini tentang kekerasan seksual ini yang perlu dipahami,” ujarnya.
Selanjutnya Pangkong membahas tentang berbagai program pemerintah terkait upaya menurunkan angka kekerasan seksual. Termasuk membeberkan data-data angka kekerasan seksual yang terjadi. “Jumlah kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya,” ungkapnya.
Musdalifah dalam paparannya lebih focus pada bagaimana
upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di perguruan tinggi. Hal ini
sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494
tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada
PT Keagamaan Islam. “Penanganan kekerasan seksual ini butuh pelaporan secara
terdokumentasi. Tidak bisa diproses jika tak cukup bukti, juga saksi
dihadirkan. Bagaimana mereka runut ada indikasi terjadi, butuh ahli,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjutnya, dari sisi korban, ada stigma bahwa yang bersangkutan pernah dilecehkan sehingga malu untuk mengungkap persitiwa itu. “Sehingga butuh pendampingan, karena traumatis,” ujar Musdalifah.
Musdalifah menegaskan, penyelesaian laporan kekerasan seksual itu butuh data dan fakta, juga perlu observasi mendalam. Karena hal itu dibutuhkan dalam pengadilan. “Tetapi harus disadari bahwa ini jadi beban bagi korban,” tandasnya.
Lies yang tampil sebagai pembicara berikutnya mengatakan, kekerasan seksual ibarat gunung es. “Kemungkinan bisa terjadi di kampus kita, yang kondisinya seolah-olah baik-baik saja,” ujar Lies.
Senada dengan Musdalifah, dia mengatakan penanganan kasus ini butuh pelaporan secara tertulis. Namun yang terpenting tidak hanya pelaporan, tetapi ada advokasi. Menariknya, lanjut Lies, meski kasus kekerasan banyak terjadi pada perempuan, namun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada laki-laki. “Adik-adik mahasiswa laki-laki jika melihat atau mengalami kekerasan seksual jangan ragu melaporkan,” tegasnya.
Rajafi yang berbicara di sesi akhir mengatakan, mengapa muncul Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 itu karena negara tidak selesai dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebagai tindak lanjut di lingkungan perguruan tinggi khususnya di IAIN Manado, menurutnya, PSGA dan Warek 3 akan mengeluarkan turunan keputusan Dirjen Pendidikan Islam tersebut. “Ini sebagai langkah konkrit untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di perguruan tinggi,” ujarnya.
Rajafi juga mengajak semua pihak di perguruan tinggi untuk sama-sama menyampaikan tentang pentingnya melawan kekerasan seksual. “Segera laporkan, ada Ibu Warek 3, atau nanti tim yang terbentuk,” pungkasnya.
Diskusi publik ini selain dihadiri oleh dosen dan mahasiswa IAIN Manado, Aliansi Peduli Perempuan Sulut, PMII Metro Manado, pegiat LSM, serta kalangan jurnalis. (joe)