Oleh : Bung Amas, Sekretaris DPD KNPI Manado.
MANUVER dan peragaan eksistensi para politisi memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Kenapa tidak, karena dari merekalah kebijakan publik akan dilahirkan. Selasa 1 Januari 2019 merupakan momentum dibukanya gerbang tahun politik yang akan memberi warna terhadap kenaikan tensi politik di tanah air.

Gerak-gerik politisi dalam menyasar kepentingan yang hendak diraih memang tak luput dari rebutan dan menyedot perhatian halayak ramai. Itu artinya, kondisi ini memaksa para politisi harus menjadi baik, ‘pura-pura baik’, dan menunjukkan kesolehan sosialnya.
Implementasi dari hal tersebut, maka para politisi perlu mencari wadah seperti organisasi kemasyarakatan (Ormas) untuk melegetimasi dan mengkanalisasi kerja-kerja mereka kepada masyarakat. Ormas menjadi perantara agar ‘hidden agenda’ juga dapat dimuluskan melalui dalil kerja sosial dan kepedulian terhadap kepentingan umum.
Dari sirkulasi politik yang melahirkan beragam realitas itulah, mengharuskan para politisi dibekali adab dalam berpolitik. Agar mereka paham, mana yang hak dan yang bathil. Politisi juga perlu melahirkan pemikiran tercerahkan, karena diharapkan menjadi pelopor dalam mendorong percepatan perubahan.
Yang kita temui, kerja Ormas seringkali melenceng, bahkan ironisnya Ormas keagamaan sekalipun menjadi lahan subur untuk menampung kepentingan politis dari oknum politisi yang haus kekuasaan. Lihat saja akibatnya fenomena penyelahgunaan kekuasaan (abuse of power) terjadi dan dengan piciknya pimpinan Ormas yang notabenenya politisi berselancar diatas kepentingan personal tersebut.
Sementara itu, publik umumnya berkerinduan agar Ormas berbasis keagamaan tidak dijadikan mantel untuk memuluskan obsesi politik tertentu. Kurang elok bila politisi (pengurus Parpol dan simpatisan parpol) mencurahkan kepentingan dan mengalirkan segala birahi kekuasaan itu pada Ormas keagamaan dengan model operasi yang seakan-akan agamis.
Sederhananya inilah sebetulnya salah satu bahaya laten politik kita, yakni masuknya para politisi dalam mengatur dan mengintervensi eksistensi Ormas keagamaan. Karena berpotensi prinsip organisasi yang jauh dari kepentingan politik, menjadi terkontaminasi bahkan dominan dikontrol kepentingan politik tertentu.
Bebaskan Rumah Ibadah dari Cengkraman Politik Kotor
Tak ada yang statis memang dalam politik, karena politik umumnya kita mengenal istilah ‘yang abadi hanyalah kepentingan’ dan politik itu dinamis. Fleksibel, sehingga demikian kepentingan menjadi satu-satunya ukuran ‘mutlak’, melalui kepentinganlah rivalitas politik akan berakhir, kompromi terlahir, atau bahkan perselisihan politik kian mengakar.
Artinya secara kasat mata sering kita temui hegemoni atau penguasaan para politisi pada Ormas keagamaan yang ‘menggarap’ rumah ibadah sebagai segmen potensial dalam menggenjot kenaikan elektoral, makin menjadi-jadi. Padahal masyarakat (umat) perlu disadarkan dan diberi pembedaan antara bantuan atas nama pembangunan rumah ibadah, serta sangkut-paut urusan politik.
Bila politisi mau beramal ibadah, cukup memberikan sumbangan atau bantuan tanpa embel-embel lain. Para aktivis pro demokrasi dan kelompok yang masih memiliki akal sehat wajib memberi edukasi kepada rakyat tentang pentingnya tidak dijepit dalam kepentingan politisi yang sempit. Tidak mudah dibohongi dengan bantuan ke rumah ibadah, tapi berharap imbalan dipilih dalam Pemilu 2019 nantinya.
Ketika membaca pendapat Lukman Hakim dalam bukunya Revolusi Sistemik; solusi stagnasi reformasi dalam bingkai sosialisme religius, ia membagi perubahan dengan beberapa klasifikasi diantaranya yakni melalui revolusi struktural, revolusi konstitusional. Melalui jalur itulah, para politisi kita berjuang. Selain itu, perlu kiranya ditambahkan bahwa konstruksi sosial kita juga menghendaki dilahirkannya revolusi kultural.
Rakyat jangan kita biarkan untuk terus-terusan dicekoki dengan isu dan praktek penyimpangan politik yang mereduksi nalar publik. Pembodohan-pembodohan dalam politik itu sering pula kita jumpai dalam pidato, ceramah, dan sambutan yang keluar dari podium atau mimbar rumah ibadah. Kadang para politisi membajak nama Tuhan dalam urusan pribadinya, demi meyakinkan konstituen.
Berbahayanya mimbar di rumah-rumah ibadah ‘disabotase’ dan ‘dimanipulasi’ menjadi panggung atau corong dalam mengkampanyekan kepentingan politik perseorangan serta kelompok. Pembelokan-pembelokan tersebut perlu diarahkan pada visi yang ideal, jangan mengajak publik untuk secara kolektif melanggengkan kekeliruan-kekeliruan itu.
Tetaplah kita berbaik sangka atas perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan para politisi, walau yang mereka lakukan ini disaat momentum Pemilu 2019 tiba. Di Sulawesi Utara ini bukan menjadi hal baru, dimana para politisi berbondong-bondong mendekati rakyat, menyalurkan bantuan, menyapa rakyat, menyambangi rumah ibadah dengan kepentingan terselubung.
Bagi politisi yang memberikan perhatian dan bantuan kepada pembangunan rumah ibadah, atau ikut ambil andil memberi perbaikan fasilitas rumah ibadah tetaplah disambut baik. Prinsipnya yang dilakukan para politisi di rumah-rumah ibadah itu bukan ajang menunjukkan kesolehan sosial, lalu ‘memaksa’ rakyat memilih mereka.
Memilih atau tidak memilih politisi yang membantu di rumah ibadah bukanlah tuntutan moral, bukan sebagai kewajiban dan keharusan. Jikalau ada politisi yang memberi sesuatu kepada rakyat lalu menuntut imbalan, maka layak untuk ditinggalkan, sebab itulah model politisi yang tidak layak diteladani. Lebih baik, politisi perpegang teguh pada ungkapan bijak ‘tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu’.
Politisi yang pamer dan mengkapitalisasi pemberiannya kepada rakyat, harusnya ditinggalkan. Itu sama artinya politisi tersebut menyandera kebebasan berdemokrasi rakyat, berarti juga politisi jenis ini tidak benar-benar tulus membantu rakyat atau membantu rumah ibadah. Mereka tidak ubahnya para ‘pelacur’ yang menukar kewibawaan dengan materi.
Sebagai pemilih dalam Pemilu, rakyat perlu memasang panduan dan punya standar dalam memilih wakilnya dan pemimpinnya. Jangan memilih para politisi yang ‘menggadaikan agama’ untuk ditukarkan dengan suara rakyat. Rakyat digiring pada pilihan yang dilematis, yaitu memilih politisi yang banyak menyumbang untuk rumah ibadah tertentu, membantu umat, namun rakyat tidak tahu darimana uang atau bantuan itu berasal.
Karena dari hal-hal itu praktek korupsi akan terjadi, dari cara-cara transaksional itulah akumulasi modal akan menjadi logika dalam berpolitik. Akhirnya, berapa banyak uang (materi) yang dikeluarkan politisi akan berbanding lurus dengan apa yang nantinya mereka dapatkan setelah mendapatkan kekuasaan yang dikerjar tersebut.
Pengalaman demokrasi kita sudah memberi banyak jawaban atas tingkah-laku para politisi yang selalu menuhankan uang. Mereka para politisi pragmatis melahirkan barisan perbudakan seperti kelompok-kelompok oportunis, yang modelnya ialah bekerja harus diberikan upah, menjadi ‘penjilat’. Atau mengedepankan uang dibanding nilai-nilai universal lainnya.
Jika banyak politisi di Sulawesi Utara khususnya, baik itu DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota membantu pembangunan rumah ibadah atau bahkan membangun rumah ibadah yang baru adalah perilaku mulia, perlu diapresiasi. Problemnya bila semua bantuan dan kepedulian itu dibarter dengan memilih mereka, atau menaruh semacam garansi rakyat wajib memilih mereka setelah bantuan diberikan.
Praktek pemaksaan kehendak seperti itu bukan lagi memberikan gambaran bahwa mereka adalah politisi yang baik. Tapi, politisi bermental buruk yang tidak wajib mendapat legitimasi dan mandat rakyat. Politisi harusnya berhati tulus, pikiran jernih dan niatnya baik dalam melayani rakyat, bukan menjadi ‘tukang todong’, tukang tagih janji. Kesesatan berfikir politisi yang mengikat rakyat dengan komitmen simbiosis mutualisme sempit juga merupakan panutan yang tidak baik.
Catatan : Bung Amas, Sekretaris DPD KNPI Manado
Manado, 1 Januari 2019