Manado, DetikManado.com – Perlindungan terhadap satwa langka dan tumbuhan menjadi salah satu isu penting di Sulut. Terkait itu, The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Sulut menggelar diskusi bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut pada Jumat (11/8/2023).
Diskusi SIEJ Simpul Sulut yang digekar di kantor BKSDA Sulut di Kelurahan Tingkulu, Kecamatan Wanea, Kota Manado ini dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai media massa di Manado. Tema yang diangkat adalah Pengawasan dan Pengendalian Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) di Wilayah Sulut.
Kepala BKSDA Sulut Askhari Daeng Masiki dalam materinya memaparkan, nilai penting dengan menjaga bumi dan melestarikan alam melalui perlindungan terhadap satwa liar dengan melakukan konservasi di 13 wilayah konservasi yakni 8 di Sulut dan 5 di Gorontalo.
“Menjaga alam dan melestarikan bumi dengan mengetahui peran dari satwa liar di antaranya penyeimbang rantai makanan, membantu penyerbukan tanaman, predator bagi hama, membantu penyebaran beberapa jenis tumbuhan,” ujar Askhari Daeng Masiki
Selain itu satwa liar juga bermanfaat sebagai bahan penelitian, pendidikan, wisata terlebih keberadaan satwa liar untuk sumber protein, di mana memiliki nilai ekonomi tinggi dan memberikan insipirasi karya.
Askhari mengatakan, kerap terjadi pelanggaran bidang peredaran tumbuhan dan satwa liar dengan terjadinya penyelundupan dan perdagangan ilegal (smuggling and illegal trade) dan perburuan ilegal TSL (illegal hunting) serta pemeliharaan secara ilegal TSL yang dilindungi.
Terjadinya penyelundupan, perdagangan, perburuan serta pemeliharaan ilegal TSL yang dilindungi tersebut, dilatarbelakangi adanya permintaan pasar, untuk dikonsumsi, sebagai hiasan, obat-obatan, peliharaan dan status sosial.
“Hal tersebut dikarenakan lemahnya penegakkan hukum dan isu perlindungan terhadap TSL belum menjadi permasalahan nasional, belum lagi terkait kebutuhan ekonomi dan rendahnya kepedulian dalam konservasi tumbuhan dan satwa liar khususnya di Sulut,” tambah Askari.
Dasar Hukum perlindungan terhadap TSL telah ada, yakni Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, UU Nomor 41 Tahun 1990, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.106 Tahun 2018 serta Kemenhut No. 447 / 2003.
Menurutnya, BKSDA Sulut terus melakukan pengawasan dengan patroli di perbatasan Bolaang Mongondow dan juga telah bekerjasama dengan sejumlah pihak termasuk di Pelabuhan Bitung. Hal ini karena Sulut sebagai daerah transit peredaran satwa liar, serta patroli dalam kota seperti di Talaud dan Sangihe.
Dalam patrol itu ada 24 ekor satwa liar yang ditemukan di antaranya hewan monyet digo, elang laut, kakatua jambul kuning kecil, nuri bayan, nuri talaud dan ternate, betet kelapa punggung biru, beo, kasturi kepala hitam dan perkici dora.
“Kami bahkan telah ikut mengkampanyekan stop makan penyu pada waktu lalu bersama masyarakat di Lirang Lembeh, Kota Bitung, Sulut,” ujarnya.
Dengan adanya patrol, petugas BKSDA berhasil mengumpulkan bukti peredaran daging satwa liar di wilayah seperti Minahasa, Tomohon, Talaud, Sangihe, Minut, Bitung dan Bolaang Mongondow Raya.
Satwa liar antaranya babi hutan, kelelawar, tikus hutan, ular phyton, dan biawak dengan hasil patroli tercatat pada 19-23 Desember 2021 berjumlah 10.650 kg. Kemudian patroli pada 7-11 September 2022 dengan jumlah 3,728 kg daging babirusa, macaca hecki, tikus hutan, ular piton, dan biawak.
“Sedangkan patroli 20-24 September 2022 hasil yang diperoleh berjumlah 4.525 kg dan patroli 2-5 April 2023 berjumlah 3,999 kg,” ungkap dia.
Dia mengaku, BKSDA Sulut mempunyai kendala dalam perlindungan dan pengawasan terhadap TSL, dikarenakan keterbatasan sumber daya, koordinasi lintas sektor belum terpadu, modus operandi berubah-ubah, informasi tidak valid, informasi bocor dan wilayah peredaran yang sporadis.
“Pada tahun 2020, kami mengembalikan 41ekor satwa liar asal Maluku, mengembalikan 91 ekor satwa hasil selundupan dari Filipina, dan mengembalikan 2 ekor orangutan ke Kalimantan Timur,” ujarnya.
Di tahun yang sama juga melepaskan 2 kelompok yaki berjumlah 23 ekor ke salah satu kawasan di Sulut.
Askhari berharap media bisa membantu kerja-kerja dari BKSDA dengan mempublikasikannya melalui rekomendasi adanya koordinasi, sharing tanggung jawab, aksi bersama, patroli rutin, operasi mendadak, informasi yang kuat dan penegakan hukum.
“Kami berharap adanya perhatian yang khusus dari pemerintah daerah setempat, agar kiranya dapat menindak setiap orang yang dengan sengaja membunuh satwa liar di daerahnya, apalagi memperjual belikan satwa liar antar daerah bahkan antar Negara,” ujarnya.
Jika ada yang melakukan dan kedapatan akan hal itu maka harus dihukum biar ada efek jera bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
“Dengan kegiatan diskusi ini bisa terbangun jalinan BKSDA dengan kawan-kawan media selaku mitra, kiranya bisa blow-up kerja BKSDA Sulut dalam perlindungan dan pengawasan terhadap tumbuhan dan satwa liar,” ujarnya.
Koordinator SIEJ Simpul Sulut, Finda Muhtar mengaku saat ini semakin maraknya kerusakan ekosistem salah satunya lewat contoh di atas. Terkait itu SIEJ Simpul Sulut melihat lebih dekat bagaimana populasi kekayaan flora dan fauna di Bumi Nyiur Melambai melalui diskusi ketiga kalinya ini.
“Peningkatan pemahaman di kalangan jurnalis lingkungan, diharapkan bisa berkembang menghasilkan sebuah produk berita yang mengedukasi masyarakat agar melakukan konservasi keanekaragaman hayati, khususnya kelestarian tumbuhan dan kesejahteraan satwa,” ujar Finda.
Kondisi yang ada, media lebih banyak memberi tempat terhadap berita-berita ekonomi dan politik dibanding berita lingkungan. Kalaupun ada berita isu lingkungan dalam sebuah media, hanya menempati ruang kecil saja sedangkan berita ekonomi dan politik selalu menjadi jualan jurnalis dalam menulis.
“Padahal isu lingkungan ada banyak,” jelas Pemred BeritaManado ini.
Dia mengatakan, media massa sangat berpengaruh untuk menyadarkan publik agar mereka segera peduli terhadap lingkungannya, untuk bersama-sama menyelamatkan bumi, dan mencegah kehancuran bumi yang dipercepat oleh kerusakan-kerusakan lingkungan.
“Di SIEJ anggotanya dilatih untuk meningkatkan skill serta kapasitas jurnalis untuk peliputan terkait lingkungan menyangkut hutan bentuk pengendalian dan pengawasan,” ujarnya.
diketahui, diskusi ini merupakan agenda rutin SIEJ Simpul Sulut yang digelar setiap bulannya, membahas berbagai isu terkait lingkungan.
Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia, didirikan tahun 2006 oleh 45 jurnalis. Tujuannya adalah mendorong liputan lingkungan yang kritis dan berpihak pada kebenaran. Dengan lebih dari 200 anggota aktif di seluruh provinsi, SIEJ membangun jaringan jurnalis dan media, meningkatkan kualitas liputan lingkungan, dan mengembangkan jurnalisme advokasi lingkungan. (Yoseph Ikanubun)