Dia menambahkan, agama harus didekatkan pada persoalan-persoalan kemanusiaan.
Pemantik kedua dalam diskusi ini adalah adalah akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado Sulaimain Mappiasse PhD. Mengutip sejumlah ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad Saw, Mappiasse mengatakan, berakhlaklah seperti akhlak Tuhan. “Toleransi sering dibicarakan, toleransi tidak bisa berdiri sendiri. Dia perlu ruang yang diciptakan. Ruang itu adalah persaudaraan sebagai sebuah pondasi,” paparnya.
Dia menambahkan, problem sekarang adalah hidup dalam keragaman, dengan berbagai bahasa identitas yang membuat ruang keragaman itu menjadi sempit. “Orang yang membenahi pernak-pernih identitas, dia sulit keluar untuk toleran dengan sesama. Identitas perlu dirawat, tapi tidak jadi kerangkeng,” paparnya.
Pendiri Yayasan Alhikam Cinta Indonesia Habib Muhsin Bilfaqih SAg MEd yang tampil sebagai pemantik berikutnya memulai dengan kisahnya bersama Gus Dur yang memberikan nasehat-nasehat. “Malam ini kita merasakan kehadiran Gus Dur, nilai dan semangat perjuangannya yang harus terus kita jalankan,” ujarnya.
Berbicara tentang toleransi, menurut Habib Muhsin, ada batasannya. “Toleransi dalam hal kebaikan. Jangan toleransi dalam persoalan yang merusak,” tandasnya.
Ketika bergaul, lanjutnya, bertoleransi dengan seluruh makhluk di muka bumi dengan akhlak yang terbaik. “Orang seperti yang tidak akan mematikan makna toleransi,” ujarnya.
Usai ketiga pemantik memberikan beberapa pandangan awal, dilanjutkan dengan tanggapan dari sejumlah peserta seperti Pdt Ruth Ketsia Wangkai MTh, Koordinator Gerakan Cinta Damai Sulut (GCDS) Yoseph E Ikanubun, Komunitas Bahai Sulut, Koordinator Gusdurian Bolmong Ersyad Paputungan serta sejumlah dosen dan mahasiswa IAIN Manado.
Turut hadir dalam diskusi ini Pengerak Gusdurian Manado Mardiansyah Usman, Rahman Mantu, Memet Bilfaqih dan Rusli Umar yang Ketua GP Ansor Manado, serta tamu undangan lainnya. (tr-01/joe)