Tondano, DetikManado.com – Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Perjuangan (Aparat) Cabut Omnibus Law (Cabul) terlibat bentrok dengan aparat keamanan saat menggaungkan Mosi Tidak Percaya di Minahasa, Sulut, Rabu (7/10/2020).
Awalnya, aksi tersebut berjalan dengan damai dan mengikuti protokol pencegahan Covid-19. Selain itu, massa aksi ingin menyampaikan tuntutan mereka di Kantor DPRD Minahasa. Akan tetapi, aparat Polres Minahasa menghadang massa aksi di Gerbang Utama, kemudian dialihkan ke Poliklinik Unima.
Terjadi perdebatan antara massa aksi dan aparat keamanan terkait penyampaian tuntutan aksi yang akan disuarakan di Kantor DPRD Minahasa. Massa aksi pun meminta agar pihak kepolisian segera meninggalkan halaman kampus Unima dan mereka akan melakukan aksi di depan Gerbang Unima.
Tak berselang lama, massa aksi dan aparat keamanan terlibat bentrok yang mengakibatkan sejumlah massa aksi ditangkap. Selain itu, beberapa di antaranya mengalami tindakan represif.
Hubungan Masyarakat (Humas) Aparat Cabul, Idhar Ishak mengatakan aksi yang dilakukan mereka merupakan buntut disahkannya sejumlah poin dalam Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).
Ia menjelaskan, informasi yang diterima aliansi mahasiswa bahwa pembahasan dan pengesahan UU itu tanggal 8 Oktober 2020 mendatang. Akan tetapi DPR mempercepat proses pembahasannya, Senin (5/10/2020).
“Tetapi faktanya, DPR mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan informasi yang kami dapat. Sehingga kami mengambil kebijakan sebagai bentuk respon dari mahasiswa untuk turun ke jalan untuk menyampaikan hal-hal yang agak melenceng dari poin-poin yang disepakati (UU Omnibus Law,” ujar Isak kepada DetikManado.com.
Isak mengungkapkan, aparat Polres Minahasa menghalau aksi damai tersebut dan melakukan tindakan represif terhadap massa aksi. Diketahui, 17 mahasiswa ditangkap dalam aksi ini.
“Kami juga sedang menunggu informasi dari LBH Manado,” sebutnya.
Sementara itu, salah satu Moderator Aksi, Claurentinus Resi menuturkan, poin tuntutan yang disuarakan mereka adalah menuntut pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Omnibus Law Ciptaker.
“Tujuan aksi kami ini adalah aksi damai. Kami meminta pihak kepolisian memberikan kami ruang mimbar bebas menyatakan pendapat,” sebut Resi.
Terkait kericuhan, mahasiswa Fakultas Teknik (Fatek) Unima ini menyebutkan, kericuhan berawal dari diskusi dan konsolidasi dengan pihak kepolisian, agar meminta perwakilan massa aksi menyampaikan pendapat.
“Sesuai kesepakatan, kami tidak ada keterwakilan. Ini murni dari barisan perjuangan rakyat,” ujar Resi.
Hingga berita diturunkan, 17 mahasiswa yang ditangkap pihak kepolisian masih berada di Polres Minahasa. (rf)